mchosover
4 min readSep 24, 2023
'Din, kenapa hujan selalu mendatangkan nostalgia?'

“Din belum pulang, Je?”

Jehan menoleh lalu menggeleng.

“Kapan dia pulang?”

“Biasanya sih sore, tapi tadi Din bilang dia pulang cepet—”

“Siapa yang jemput?” potong Miguel.

“Di jemput Shaka, kenapa?”

“Biar gue aja Je. Bilangin Shaka buat ga usah jemput Din.”

Jehan mengernyit curiga tapi ia mengangguk sebagai ungkapan setuju. “Tumben banget, kesambet apa lo?” Jehan terkekeh kecil, tidak biasa Miguel seperti ini.

Sementara Miguel sibuk bersiap-siap menjemput Dino tak menghiraukan perkataan Jehan. Ia menyambar roti yang ada di meja satu lalu menghilang secepat kilat.

“Jangan mampir-mampir Jon! Mendung, nih.”

Acungan jempol adalah jawaban dari peringatan singkat Jehan.

Dalam perjalanannya Miguel tak henti-hentinya membayangkan hal apa yang akan ia lakukan nanti bersama Dino. Entah kenapa ia hari ini, rasanya ingin sekali menghabiskan waktu berdua dengan Dino. Miguel tak ada rasa dongkol dengan kehadiran Dino, ia mungkin masih belum terbiasa (?) karena biasanya ia yang selalu di nomor satukan namun semenjak Dino datang ia jadi jarang di perhatikan.

Tidak. Itu bukan artian seorang Miguel untuk membenci Dino, ia juga sadar posisi di sini. Dino berhak mendapatkan bahagianya.

Walaupun dalam benaknya, Miguel sangat iri.

Mobil Miguel sampai di parkiran SMA baru Dino. Di lihatnya masih sepi. Ia memutuskan untuk mengirim pesan pada Dino jika yang menjemput adalah dirinya, bukan Shaka. Setelah selesai ia kemudian merelaksasi tubuh lelahnya. Hingga setengah jam menunggu, segerombolan anak SMA keluar bersama dengan sedikit desak-desakan. Miguel keluar dari mobil agar Dino dapat menemukannya dengan mudah.

Senyum Miguel merekah tatkala melihat kehadiran Dino yang sadar akan dirinya. Anak itu berlari kencang dan menabrak tubuh besar Miguel. Rasanya hangat. Miguel menyukai saat Dino tersenyum padanya.

“Ayah kemana, kak? Kok tiba-tiba lo yang jemput.” tanya Dino kendati memasuki mobil.

“Gak kemana-mana sih, gue lagi pengen aja. Emang ga boleh?” balas Miguel, agak ragu.

Dino mengangguk seolah paham maksud Miguel.

“Lo mau jalan-jalan dulu gak Din sebelum pulang beneran?” tawar Miguel.

“Ayok aja sih gue, tapi jangan lama-lama. Mendung, kak Jeje juga bilang langsung balik sebenarnya.”

“Bentar doang kok.”

Dino menurut. Miguel memacu mobilnya entah kemana. Dan tak lama setelah itu hujan mengguyur seisi kota dengan dahsyatnya. Kaca mobil yang basah akibat tetesan air hujan turun dengan perlahan bersamaan dengan memori-memori masa lampau yang penuh akan kenangan. Dino melirik sedikit kearah Miguel yang sejak tadi hanya diam menyetir, ia mengulum bibirnya canggung. Namun, disaat bersamaan pula Miguel memberhentikan kendaraan roda empat tersebut di sebuah halte bus. Bingung, Miguel keluar lebih dulu lalu di susul Dino.

“Lo pasti bertanya-tanya kenapa kita berhenti di sini,” ucap Miguel seakan tahu isi pikiran Dino. Ia melepas jaketnya lalu memakainya untuk Dino. “Jadi sebelum lo bertanya gue akan jawab duluan,” ia melepas senyum.

Miguel menghela, menengadahkan telapak tangannya agar terkena tetesan hujan yang turun. Rasanya sedikit sakit.

“Jangan kasih tau Shaka ya gue ngajak lo main ujan.”

Dino tak bergerak dari tempatnya. Masih kebingungan, ia berdiri di belakang tubuh atletis Miguel, menunggu kapan kakak angkatnya itu berbicara, lagi.

“Kalau Shaka tau, bisa abis gue, Din, haha,” celetuk Miguel.

Yang lebih tua berhenti bermain hujan. Ia beralih pada sang adik yang sudah menunggu, lalu mengajak duduk untuk mulai bercerita.

“Din, kenapa ya hujan itu selalu buat kita bernostalgia?” Miguel bertanya, ia memfokuskan tatapannya hanya pada suasana menenangkan di depan. “Gak perlu lo jawab Din, gue ngasal aja.”

Hening untuk beberapa saat. Tak tahan, Dino akhirnya angkat suara.

“Kak, gue mau nanya sesuatu.”

“Tanya aja, bakal gue jawab selagi gue tau.”

Dino meremas seragamnya sedikit ragu.

“Menurut lo, ayah itu…. Sayang gak sama gue?”

Miguel sontak menoleh. Memasang ekspresi terkejut akan pertanyaan Dino, namun tak bertahan lama karena ia kembali tersenyum.

“Ya sayang lah, Din. Apaan banget pertanyaan lo.”

“Tapi.. kenapa ayah gak pernah nengokin gue selama di kampung? Cuma pas gue kelas 3 SD ayah ada datang, habis itu gak pernah lagi.”

“Itu karena..” Miguel menjeda ucapannya, ia membuang nafas panjang. “Ayah lo lagi di ambang kehancuran, ada banyak orang yang mau menjatuhkan dia. Sebelum Shaka adopsi gue, dia sempat beberapa kali ke panti asuhan dan ceritain semua tentang anaknya yang gak sempat dia jenguk karena banyak banget halangan, kadang juga dia nangis saking rindunya. Din, ayah lo itu, banyak yang gak suka, Shaka gak pernah jenguk lo itu karena dia takut lo juga ikut terkena imbasnya. Shaka juga bilang, banyak resiko besar kalau dia bawa lo, dia gak bisa tenang karena takut lo tiba- tiba ada yang jahatin. Tapi demi lo ga kesepian Shaka bakal ketatin pengamanan di sekitar lo.”

“Serius?”

“Lo bisa tanya Jeje. Dia saksi hidup Shaka.”

Dino bungkam. Jika benar yang Miguel katakan, berarti semua cerita dari mendiang neneknya bisa ia percaya mulai sekarang. Shaka adalah sosok ayah hebat, melakukan apapun demi anaknya.

“Emm, lo mau tau gak? Miguel Axel Jonathan, itu nama pemberian dari Shaka. Dia kasih gue nama itu pas hari dimana gue resmi jadi anak angkatnya. Nama asli gue sebenernya cuma Migu..”

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

mchosover
mchosover

Written by mchosover

0 Followers

Sorry for broken English 🥲💔

No responses yet

Write a response